Tuesday, May 4, 2010

Tua


Meski tulang rahangnya tetap kekar dan keras, wajahnya sudah menampakkan ketuaan. Tatapan matanya tidak setajam dulu. Dan mata itu menjadi agak rabun. Ia tidak begitu mengenali orang yang bertemu dengannya. 
“Muista Fahendra, ya. Kau gemuk sekali sekarang, hampir tidak kukenal. Kukira kau kontraktor yang akan membangun Taman Budaya, ha ha ha,” katanya ketika ia melihatku muncul di Taman Budaya sore itu.  Tubuhnya tidak segemuk dua belas tahun lalu, saat kami sama-sama suka tidur di meunasah tuha, surau di Taman Budaya. Daging di pipinya makin menipis. 


Bentuk rambutnya berubah, menjadi tipis, tidak lagi gondrong membentuk bundaran mirip bunga kol yang bagian kedua sampingnya ditipiskan. Ubannya makin penuh di kepala.  Aku memandang lelaki itu dari atas ke bawah. 

Ia tidak garang lagi, seperti dulu ketika mengatur sepeda motor dan mobil yang parkir di Rex, tempat ia menjadi juru parkir. Tubuhnya sedikit membungkuk. Tapi kumisnya tetap tebal.  “Apa kau lihat? Aku sudah tua ya,” katanya. “Abang tetap gagah,” kataku. Ia tergelak. “Kau jangan menghiburku. Katakan saja bahwa aku sudah tua.” “Tapi pasti abang tetap disukai banyak perempuan.” “Dari mana kau tahu?” 

“Dari puisi yang abang kirim lewat SMS kepadaku beberapa bulan lalu.” “Ha ha. Soal puisi itu, aku mau cerita sama kau. Tapi kita perlu duduk barang dua jam.  Oh ya, kapan kau kembali ke Jakarta?” “Dua hari lagi.” “Begini aja. Nanti malam jam delapan kita ketemu di Rex. Sekarang aku harus pergi, ada janji sama seseorang.” “Seseorang yang cantik?” “Ha ha ha!” Tawanya keras sekali. Aku ikut tertawa.  “Pada akhirnya memang kita akan tua. Tapi aku belum ingin tua.” Bang Burhan mengucapkan kata-kata itu belasan tahun lalu, ketika kami sering bertemu, ngobrol tentang banyak hal, di meunasah tuha atau di warung kopi Siang Malam, tempat banyak seniman dan wartawan di kota itu sering ngopi pagi.  “Mengapa Abang mencemaskan tua?” 

Aku memandang lelaki itu lekat-lekat. Tidak biasanya dia begitu. Wajahnya tampak begitu serius. Seperti ada sesuatu yang sedang menjadi masalah besar baginya. Ia menghela nafas, lalu matanya di arahkan ke luar, ke jalan raya kota itu yang ramai. “Ada yang mengatakan aku sudah tua bangka.  Tak pantas….” Belum sempat kata-kata itu diteruskan, seorang anak muda masuk dan mengajaknya pergi. Ia bangkit dan melangkah, tanpa berkata apa pun kepadaku. Ia pergi bersama pemuda itu, yang tak lain anak tertua Bang Burhan. Mataku mengikutinya hingga tubuhnya menghilang di luar.  

Lama Bang Burhan tidak muncul. Teman-teman bertanya-tanya. Sebulan kemudian, aku melihat Bang Burhan menggandeng seorang gadis cantik di Terminal Jalan Diponegoro. Ia naik angkutan kota, labi-labi, ke jurusan Lhoknga. Wajahnya sumringah. Aku ingin memanggil, tapi tubuhnya segera hilang di balik labilabi itu.  Aku tak mengenal gadis itu. Tampaknya ia seorang mahasiswa. Aku jadi bertanya-tanya, siapakah dia? Tapi aku segera ingat bahwa banyak perempuan yang senang dengan puisi laki-laki itu yang romantis dengan irama mendayu-dayu. Mungkin gadis itu salah satu penggila puisi-puisinya. 

Tak heran, ia banyak dekat dengan perempuan. Biasanya peristiwa kedekatannya itu akan tumpah dalam puisinya yang dimuat di koran.  Rupanya beberapa teman juga kerap melihat Bang Burhan bersama gadis dengan ciri-ciri yang sama: hitam manis, rambut sebahu, dan memakai kaca mata. Suatu kali, ia muncul di Taman Budaya. Wajahnya murung. Aku bersama dua teman, Saiful dan Sulaiman Juned, sedang tidur-tiduran sambil ngobrol di meunasah tuha. Ia tidak banyak berkata-kata.  “Dari Blang Bintang, Bang?” tanya Sulaiman. “Ya. Aku mau tidur. Jangan diganggu ya,” katanya dengan suara agak parau, tapi tegas. Lalu, ia merebahkan diri di salah satu sudut meunasah. Kami terus mengobrol bisik-bisik di sudut lain, sambil sesekali memperhatikan Bang Burhan. Rupanya ia tidak sepenuhnya tidur. 

Dengan posisi tidur miring menghadap dinding meunasah, ia asyik memperhatikan sebuah foto ukuran kartu pos.  “Kalau tidak sedang jatuh cinta pasti Bang Burhan sedang patah hati,” kata Sulaiman. Aku dan Saiful hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian, ia menaruh foto itu didadanya dan ia benar-benar tertidur. Sore-sore, aku kembali berpaspasan dengan Bang Burhan di depan kantin Taman Budaya, lagilagi dengan wajah murung. Ia tidak menyapa, bahkan tidak menoleh ke kantin yang dilewatinya. Ia terus keluar dari kompleks itu, lalu berjalan ke arah kota menyusuri trotoar di depan Gunongan.  Jalanan seolah menelan tubuhnya yang dibalut baju batik bermotif merah itu. 

Tiga minggu kemudian, kami baru tahu apa yang sesungguhnya terjadi, ketika kami baca puisinya muncul di koran. Ia menulis begini: teluk semakin tertutup buat kapal-kapal termangu tanpa ada yang membelai kecuali ombak laut dan baris-baris kenangan yang lama tersimpan dalam buku catatan harian rindu sudah terpenggal.  Ia menggambarkan cintanya yang tertutup. Tapi tak jelas, siapa yang menutup cintanya itu. Tapi belakangann aku, juga teman-teman, tidak pernah melihat lagi ia berjalan dengan gadis mahasiswa itu. Kami segera menebak-nebak: pastilah perempuan itu yang telah menutup cintanya buat Bang Burhan.  

“Kalian keliru. Gadis itu anakku yang tinggal di kampung. Ia baru kuliah di sini, makanya sering kujemput,” katanya suatu kali di warung Siang Malam.  “Kalau begitu, boleh lah gadis itu kutaksir,” Anhar menyela. “Aku enggak mau anakku cuma kau kasih makan puisi. Ha ha ha!” “Enggak melulu puisilah. Nanti gantian sama cerpen, novel….” Saiful menimpali.  “Ha ha ha!” “Jangan lupa sesekali dikasih drama juga. Ha ha ha!” Rex sangat ramai. Aku melangkah masuk, sambil menyebar pandang ke seluruh penjuru tempat jajanan yang dengan kursi-kursi plastik dan dikeliling warung-warung penjual makanan itu.  

Di antara orang ramai itu, Bang Burhan melambai-lambai. Ia sedang bersama seorang perempuan muda. “Ini Muista Fahendra, mengaku pengrajin puisi, bukan penyair. Ia sudah jadi orang Jakarta sejak dua belas tahun lalu,” katanya ketika memperkenalkanku kepada perempuan itu. “Ini Linda.”  Kami duduk. Tapi, mataku kembali menoleh ke perempuan yang berumur 30-an itu. Wajahnya tidak asing. Aku mencoba mengingat-ingat. Aku terlonjak. Inilah perempuan yang dulu pernah kulihat digandeng Bang Burhan ketika naik labi-labi jurusan Lhok Nga.  Setelah duduk sebentar, perempuan muda itu mohon diri. 

“Maaf, saya harus pulang,” katanya lalu bangkit. Bang Burhan mengantarnya sampai ke mobil sedan yang parkir di depan Rex. Setelah mobil itu menghilang ditelan malam, Bang Burhan kembali ke tempat duduk kami.  “Pasti ini perempuan yang dulu Abang sering jemput.” “Ha ha. Sudah kuduga, pasti kau ingat perempuan itu.” “Jelas ingat. Ia kan anak abang yang tinggal di kampung.” “Ha ha ha!” Tawa Bang Burhan makin keras. “Kalian mau saja kubodohi. Anakku semua tinggal di Banda Aceh, tidak ada yang di kampung. Ha ha ha!” “Lalu itu siapa?” 

“Itu anak orang, ha ha ha!” “Ha ha ha!”  Setelah tawa kami reda, Bang Burhan berkata hati-hati. “Dia ditinggal suaminya yang menjadi korban tsunami.” Ia berhenti sejenak, diam, menarik nafas lalu menghembuskan perlahan. “Aku mau kawin sama dia,” ia melanjutkan. “Aku sedang cari cara. Sebab, keluarganya bilang ngapain kawin sama orang tua bangka. Apakah aku memang sudah benar-benar tua?”  Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Aku ragu, apakah pertanyaan itu perlu kujawab? Tibatiba aku tidak punya keberanian menjawabnya. 

Aku mencoba diam, pura-pura lupa. Mataku memandang lampu kendaraan yang lalu lalang di depan Rex, berbaur dengan lampu toko-toko dan dua hotel yang mengelilinginya. Lampu-lampu itu membentuk lautan cahaya yang tak habis-habisnya.  “Fahendra, coba kau jawab dulu, apakah aku memang benar-benar sudah tua, sehingga tidak pantas kawin dengan perempuan itu?” Aku ingin menjawab bahwa sesungguhnya Bang Burhan sudah tua. Umurnya sudah 73 tahun.  Tapi mulutku sangat susah untuk bicara. Aku takut melukai hatinya, hati seorang kawan yang kembali jatuh cinta.  

Sumber: Republika

No comments:

Post a Comment