Tuesday, May 4, 2010

Kesenjangan Digital

Saat ini, ada dua sektor industri yang perkembangannya spektakuler yaitu rokok dan IT. Dalam bidang IT khususnya telekomunikasi. Berbagai rambu-rambu menutup ruang gerak dalam beriklan, baik dalam bentuk pembatasan waktu tayang maupun adanya peringatan berisi ancaman terhadap kesehatan.  Namun, produksi rokok terus meningkat. 

Jutaan linting rokok terus dibakar dan asapnya diisap dalamdalam oleh para penikmatnya. Seiring dengan kepulan asap, uang pun terus mengalir ke pundipundi pemilik pabrik rokok. Tidak heran jika orang terkaya di Indonesia sekarang ini adalah pemilik salah satu merek rokok terkenal.  
Setali tiga uang, industri telekomunikasi, khususnya seluler, juga menunjukkan performa luar biasa. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan bisnis telekomunikasi sangat fenomenal.  


Sejak semakin majunya teknologi satelit dan dibukanya perang tarif antaroperator, bisnis telekomunikasi tiba-tiba saja penuh gairah. Hal ini menunjukkan adanya dampak positif. Pertambahan jumlah pelanggan tiap operator pun sangat signifikan.  
Inilah periode emas di mana jumlah pelanggan mengalami kenaikan secara merata. Jumlah telepon yang semula sulit beranjak dari angka di bawah sepuluh persen, kini sudah mampu melewati angka 30 persen. 

Dari total penduduk yang mencapai 240 juta jiwa, saat ini jumlah total pengguna telepon di Indonesia mencapai angka 85 juta lebih.  Dalam waktu tiga tahun ke depan, diperkirakan jumlah pengguna telepon di Indonesia mencapai setengah dari jumlah penduduk. 
Ini berarti pengguna telepon mencapai 50 persen.  Tentu saja, pencapaian ini memberi kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi secara makro. Di tengah situasi serba suram akan masa depan pertumbuhan ekonomi nasional dan sulitnya meyakinkan investor menanamkan investasi di Indonesia, sektor telekomunikasi justru tampil penuh percaya diri. 

Saat ini saja sudah ada 10 operator telekomunikasi seluler yang beroperasi di Indonesia.  Jumlah yang sebenarnya terlalu banyak untuk sebuah negara berpenduduk 240 juta jiwa. Hebatnya, masih saja ada investor yang berminat untuk ikut bermain di bisnis pulsa ini. 
Alasannya cukup simpel, dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa, masih ada potensi pasar yang bisa dikembangkan untuk bisnis masa depan.  Namun demikian, pencapaian yang dialami oleh sektor telekomunikasi di Indonesia, justru memunculkan kekhawatirkan. 

Salah satu pihak yang khawatir itu adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Prof. Mohammad Nuh.  Ketika berkunjung ke Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung, Senin (30/7), Nuh yang juga pakar IT itu, mengungkapkan rasa mirisnya terhadap perkembangan bisnis telekomunikasi di Indonesia.  “Bisnis telekomunikasi ini memang luar biasa perkembangannya. 

Namun, siapa yang menikmatinya? Pihak yang menikmatinya adalah orang asing. Hal ini karena sebagian besar operator telekomunikasi di Indonesia dimiliki pihak asing dengan modal besar.  Selain itu, pertumbuhan yang luar biasa itu juga belum diimbangi dengan pemerataan akses dan alih teknologi. 

Adapun yang kemudian terjadi malah kesenjangan teknologi dan digital,” kata Nuh. Padahal, menurut Nuh, perputaran uang dalam bisnis telekomunikasi di Indonesia terhitung besar, antara Rp50–60 triliun per tahun.  Apa yang dikhawatirkan Pak Menteri memang sangat beralasan. 
Di balik berbagai gemerlap kemajuan di bisnis telekomunikasi dan informatika, ada persoalan serius yang jika dibiarkan bisa menyebabkan bangsa ini masuk paradoks teknologi.  
Hal itu di satu pihak ada kelompok yang benar-benar menikmati kemewahan teknologi, sementara di pihak lain masih banyak orang yang hidup dalam zaman batu. Dala hal ini, contohnya kian terlihat jelas. Pelaku bisnis telekomunikasi masih lebih mengutamakan daerah perkotaan ketimbang pedesaan. 

Orang kota pun kian jauh meninggalkan orang desa. Pada gilirannya, sangat mungkin, kesenjang teknologi dan digital bakal mempertajam kesenjangan sosial yang sekarang ini saja sudah menganga lebar.  Kesenjangan digital (digital divide) sangat dirasakan tidak saja dalam kaitan paradoks kota besar dan kecil, kota dan desa, melainkan juga dalam suatu kota, terutama sejak penggunaan internet secara luas dan meningkatnya arus informasi yang sangat dominan, yang didukung platform teknologi dan sistem informasi.  Kesenjangan digital juga terkait dengan kesetaraan memperoleh peluang. 

Menkominfo tidak mau menyebut tingkat kesenjangan digital di Indonesia “sudah tinggi”, tapi lebih tepatnya “sudah sangat sekali”. Menurutnya, kesenjangan digital itu bisa dilihat dari beberapa parameter, yakni IT literacy, penetrasi komputer, harga bandwidth, serta ketersediaan broadband.  
“Kesenjangan digital di Indonesia itu komplet.   Bayangkan saja, jika Anda pergi ke Papua di sana masih ada yang hidup seperti zaman batu, tetapi di Thamrin Jakarta sudah zaman masa kini,” kata Nuh seperti dikutip detiknet. Jadi, masyarakat Indonesia seakan-akan berada dalam satu kapsul, karena di dalamnya terdapat zaman tani, perdagangan, dan zaman informasi. Lantas, bagaimana mengatasinya?  

Mengandalkan para pelaku bisnis untuk bermurah hati menanamkan investasinya di area-area “kering” memang agak sulit. Bagaimana pun, prinsip dasar pelaku bisnis adalah mencari keuntungan dan laba. Memang, sejauh ini sudah ada program USO (universal service obligation) dan CSR (corporate social responsibility), program yang mewajibkan tiap institusi perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk pengembangan lingkungan dan masyarakat yang tertinggal.  
Namun, meski program USO dan CSR bisa berjalan pengaruhnya relatif kecil. Adapun kebijakan yang dibutuhkan adalah munculnya keadaan yang mampu memberi stimulus kepada investor. 

Hal ini dilakukan agar mereka mau mengembangkan usahanya di area-area yang dinilai “kurang gemuk”. Ini berarti, harus ada insentif khusus dari pemerintah kepada perusahaan yang mau menanamkan investasinya di area yang selama ini dihindari para pelaku bisnis.  Menkominfo sendiri tampaknya sudah mengarah ke sana. Menkominfo akan menerapkan insentif khusus, terutama menyangkut kebijakan pricing (harga) dan mengundang investor. 

Kita tunggu saja perkembangannya.  Hal lain yang perlu dilakukan adalah bagaimana pemerintah sebagai regulator mampu menciptakan suatu tatanan dan peraturan yang memungkinkan investor lokal memiliki peluang sama dalam penguasaan bisnis telekomunikasi. Sangat mungkin, saat ini proses alih teknologi sudah berlangsung dan para pakar IT kita sudah cukup canggih dalam menguasai segala hal menyangkut bisnis IT.  

Namun, seluruh keahlian itu menjadi mubazir dan kurang berdaya guna jika kemudian seluruh keputusan pengambilan kebijakan ada di tangan asing. Hal ini karena sebagian besar perusahaan IT yang beroperasi di Indonesia milik investor asing dengan modal yang besar.  
Berbagai kebijakan itu, tentu saja, tidak dimaksudkan untuk menutup peluang investor asing ke Indonesia, melainkan agar tercipta kesetaraan dan keadilan. Sungguh ironis rasanya jutaan unit handphone dipasarkan di Indonesia, sementara pabriknya ada di Cina. Mungkinkah pemerintah bisa mendorong agar setiap pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia?   

Entah itu produsen handphone, vendor jaringan, atau content provider, turut memberi kontribusi langsung bagi terciptanya penurunan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan daerah setempat? Misalnya handset suatu hanphone yang dipasarkan di Indonesia pabriknya memang ada di Indonesia?

No comments:

Post a Comment