Tuesday, May 4, 2010

Gunung Tikus

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah gunung yang sangat tinggi. Para penduduk setempat menamakannya Gunung Tikus. Orang-orang mengisahkan cerita yang aneh tentang penamaan gunung ini.  Pada suatu ketika, zaman dahulu, selama bertahun- tahun, hujan tidak kunjung turun. Sungai mengering. 
Udara sangat panas. Orang-orang tidak dapat bercocok tanam karena tak ada air. Pepohonan menjadi kering. Binatang ternak mati karena kelaparan dan kehausan. Kelaparan yang dahsyat itu membuat orang sampai harus memakan anjing dan kucing. Tidak sedikit dari mereka yang mati kelaparan dan kehausan.  

Sementara di puncak gunung, terdapat sebuah gua. Di sana tinggal seorang laki-laki yang bernama Ja’ran. la seorang kakek yang mempunyai janggut putih dan panjang. Rambutnya yang juga putih dan panjang menutupi bahunya. Jalannya bungkuk dan dibantu dengan sebuah tongkat. 

Ja’ran ini laki-laki yang sangat pelit. Padahal, di gunung ia mempunyai gudang-gudang yang penuh dengan gandum, jagung, dan biji-bijian.  Setiap pagi orang-orang datang menemuinya. Menangis, menjerit bersama anak-anak dan istri mereka. “Demi Allah, Paman Ja’ran, kasihanilah dan berilah kami Sesuatu yang dapat kami makan,” pinta mereka penuh harap.  Tapi Ja’ran adalah orang yang keras hati. Sedikit pun tidak merasa iba dan kasihan. 

Tak seorang pun yang diberinya makan walau sebiji. Ketika mendengar orangorang berteriak dan menangis, ia malah tertawa. “Ha… ha… ha… Pergilah jauh dariku. Aku ini miskin tak punya apa-apa.”  Suatu hari, Ja’ran keluar dari gua dan membawa seruling. la melihat perkampungan di bawah gunung yang seperti kuburan. la meniup serulingnya dan terus meniup. Setiap kali meniup seruling, orangorang dari desa berdatangan secara bergerombol. Mereka membawa serta istri dan anak-anaknya.  Mereka kemudian berdiri di hadapannya dan menunggu apa yang akan dikatakannya. 

Ketika orang-orang telah berkumpul, Ja’ran berteriak dan berkata dengan suara yang keras.  “Wahai orang-orang desa, dengarlah! Aku akan memberikan semua makanan yang ada di dalam peti-peti di gudang ini kepada kalian.” la lalu berjalan menuju peti-petinya dan membukanya satu per satu. Setiap peti dibuka, api menyala dari dalamnya. Begitulah api terus membakar setiap peti dan menghancurkan peti-peti itu beserta seluruh isinya. Orang-orang terpana meli-hatnya. Mereka berteriak dan menangis.  Mereka ingin mema-suki gua itu dan mengambil gandum atau biji-bijian lainnya. 

Tapi semuanya tidak mungkin. Sementara Ja’ran yang berada di tengah kebakaran itu, tertawa terbahak-bahak.  “Ini biji-bijian. Ini jagung dan ini gandum, ambil semuanya! Aku tidak menginginkannya lagi. Ayo, ambil!” teriaknya sambil terus tertawa. Ketika api terus membakar, ia masuk ke dalam gua.  “Sudah, sudah. Semuanya sudah berakhir,” katanya memutuskan. Kemudian ia tertawa lagi, “Ha… ha… ha…” Malam tiba dan mulai gelap gulita. Orang-orang pulang ke rumah mereka dengan sedih dan kecewa.  

Mereka melewatkan malam dengan derita lapar dan haus. Pada waktu pagi, ketika matahari mulai tampak di ufuk timur, orang-orang mendengar suara-suara tikus sayup-sayup dari arah gunung.  “Cit… cit… cit…” Suara-suara itu seperti suara burung. Ketika melihat ke arah gunung mereka menemukan beribu-ribu tikus bergerak beriringan. Tikus-tikus itu datang dari segala penjuru gunung. Dari atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang, dan berbagai sisi.  Semuanya berjalan menuju gua. Sementara di depan gua, Ja’ran tengah berdiri. 

Ketika pasukan tikus itu menyerangnya dari berbagai penjuru, ia berlari ke dalam gua. Tetapi tikus-tikus itu telah menempel dan menutupi seluruh tubuhnya serta menggigitnya. La pun menjerit.  Akhirnya, Ja’ran memasuki gua dan ribuan tikus mengikutinya dari belakang dan terus masuk sehingga hampir menutupi seluruh pintu gua. Kemudian, tikus-tikus itu bersembunyi di dalam gua.  Hari, bulan, dan tahun berlalu. Sejak saat itu, orangorang tidak lagi melihat tikus satu pun, juga tidak pernah melihat Ja’ran. Demikianlah, sejak saat itu gunung ini disebut Gunung Tikus.  

Karya DR. Abdul Aziz Abdul Majid 
Sumber: Mendidik dengan Cerita

No comments:

Post a Comment