Wednesday, May 12, 2010

> Menganalisis Unsur Hikayat

Apa yang menarik dari sejarah karya sastra kita? Salah satunya adalah kehadiran hikayat. Mungkin Anda telah mengenal beragam hikayat. Namun, apakah sesungguhnya manfaat hikayat bagi manusia zaman dahulu?  Hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, silsilah raja-raja, agama, sejarah, biografi, atau gabungan dari semuanya. 

Pada zaman dahulu, hikayat dibaca untuk melipur lara, membangkitkan semangat juang, atau sekadar meramaikan pesta.  Sebagai prosa lama, hikayat memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan prosa baru atau prosa modern, di antaranya: 
1. isi ceritanya berkisar pada tokoh raja dan keluarganya (istana sentris); 
2. bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang tidak sama dengan logika umum, ada juga yang menyebutnya fantastis; 
3. mempergunakan banyak kata arkais (klise). Misalnya, hatta, syahdan, sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon, dan tersebutlah perkataan; 4. nama pengarang biasanya tidak disebutkan (anonim).  Tema dominan dalam hikayat adalah petualangan. Biasanya, di akhir kisah, tokoh utamanya berhasil menjadi raja atau orang yang mulia. Oleh karena itu, alurnya pun cenderung monoton. 

Penokohan dalam hikayat bersifat hitam putih. Artinya, tokoh yang baik biasanya selalu baik dari awal hingga akhir kisah. Ia pun dilengkapi dengan wajah dan tubuh yang sempurna. Begitu pula sebaliknya, tokoh jahat selalu jahat walaupun tidak semuanya berwajah buruk.  
Contoh-contoh hikayat di antaranya "Hikayat Bayan Budiman", "Hikayat Hang Tuah". "Hikayat Raja-Raja Pasai", "Hikayat Panji Semirang", serta "Hikayat Kalila dan Dimna".  

Hikayat Raja-Raja Pasai  
Pemberian Nama Samudera Maka tersebutlah perkataan Merah Silu (diam) di Rimba Jerau itu. Sekali peristiwa pada suatu hari Merah Silu pergi berburu. Ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu, bernama si Pasai. Dilepaskannya anjing itu. Lalu, ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Dilihatnya ada seekor semut, besarnya seperti kucing. Ditangkapnya oleh Merah Silu semut itu, lalu dimakannya. Tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. 

Setelah itu, diperbuatnya akan istananya. Setelah itu, Merah Silu  pun duduklah ia di sana; dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana. Dinamai oleh Merah Silu negeri itu Samudera, artinya semut yang amat besar (= raja); di sanalah ia diam raja itu.  Kata sahib al-hikayat: Pada suatu hari, Sultan Malik as-Saleh pergi bermain-main berburu dengan segala laskarnya ke tepi laut. Dibawanya seekor anjing perburuan bernama si Pasai itu. Tatkala sampailah Baginda itu ke tepi laut, disuruhnya lepaskan anjing perburuan itu. 

Lalu, ia masuklah ke dalam hutan yang di tepi laut itu. Bertemu ia dengan seekor pelanduk duduk di atas pada suatu tanah yang tinggi. Disalaknya oleh anjing itu, hendak ditangkapnya. Tatkala dilihat oleh pelanduk anjing itu mendapatkan dia, disalaknya anjing itu oleh pelanduk.  Anjing itupun undurlah. Tatkala dilihat pelanduk, anjing itu undur, lalu pelanduk kembali pula pada tempatnya. Dilihat oleh anjing, pelanduk itu kembali pada tempatnya. 

Didapatkannya pelanduk itu oleh anjing, lalu ia berdakap-dakapan kira-kira tujuh kali. Heranlah Baginda melihat hal kelakuan anjing dengan pelanduk itu. Masuklah Baginda sendirinya hendak menangkap pelanduk itu ke atas tanah tinggi itu. Pelanduk pun lari; didakapnya juga oleh anjing itu. Sabda Baginda kepada segala orang yang ada bersama-sama dengan dia itu:  "Adakah pernahnya kamu melihat pelanduk yang gagah sebagai ini? Pada bicaraku sebab karena ia diam pada tempat ini, itulah rupanya, maka pelanduk itu menjadi gagah".  

Sembah mereka itu sekalian: "Sebenarnyalah seperti sabda Yang Maha Mulia itu". Pikirlah Baginda itu: "Baik tempat ini kuperbuat negeri anakku Sultan Malik at-Tahir kerajaan". Sultan Malik as- Salehpun kembalilah ke istananya. Pada keesokan harinya Bagindapun memberi titah kepada segala menteri dan hulubalang rakyat tentera, sekalian menyuruh menebas tanah akan tempat negeri, masing-masing pada kuasanya dan disuruh Baginda perbuat istana pada tempat tanah tinggi itu.  

 Sultan Malik as-Salehpun pikir di dalam hatinya, hendak berbuat negeri tempat ananda Baginda. Titah Sultan Malik as-Saleh pada segala orang besar: "Esok hari kita hendak pergi berburu". Telah pagi-pagi hari, Sultan Malik as-Salehpun berangkat naik gajah yang bernama Perma Dewana. Lalu berjalan ke seberang datang ke pantai. Anjing yang bernama si Pasai itupun menyalak. Sultan Malik as-Salehpun segera mendapatkan anjing itu. Dilihatnya, yang disalaknya itu tanah tinggi, sekira-kira seluas tempat istana dengan kelengkapan, terlalu amat baik, seperti tempat ditambak rupanya. 

Oleh Sultan Malik as-Saleh tanah tinggi itu disuruh oleh Baginda tebas. Diperbuatnya negeri kepada tempat itu dan diperbuatnya istana. Dinamainya Pasai menurut nama anjing itu. Ananda Baginda Sultan Malik at-Tahir dirayakan oleh Baginda di Pasai itu.   
Peminangan Seorang Sultan dan Perkawinannya Kemudian dari itu, Sultan Malik as-Saleh menyuruhkan Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din ke negeri Perlak meminang anak Raja Perlak. Adapun Raja Perlak itu beranak tiga orang perempuan, dan yang dua orang itu anak gehara, dan seorang anak gundik, Puteri Ganggang namanya. 

Telah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din datang ke Perlak, ketiga ananda itu ditunjukkannya kepada Sidi ‘Ali Ghijas ad- Din. Adapun Puteri yang dua bersaudara itu duduk di bawah, anaknya Puteri Ganggang itu didudukkan di atas tempat yang tinggi, disuruhnya mengupas pinang.  Dan akan saudaranya kedua itu berkain warna bunga air mawar dan berbaju warna bunga jambu, bersubang lontar muda, terlalu baik parasnya. Sembah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din kepada Raja Perlak: "Ananda yang duduk di atas, itulah pohonkan akan paduka ananda itu".  

Tetapi Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din tiada tahu akan Puteri Ganggang itu anak gundik Raja Perlak. Maka Raja Perlakpun tertawa gelak-gelak, seraya katanya: "Baiklah, yang mana kehendak anakku". Sumber: Bunga Rampai Melayu Kuno, 1952 (dengan penyesuaian ejaan)  

Dari isi hikayat tersebut, Anda dapat menganalisis unsur intrinsik hikayat. Tema dalam hikayat tersebut berhubungan dengan kisah sebuah kerajaan dari mulai pemberian nama, pembangunan negeri, sampai hal-hal yang terjadi di negeri tersebut. Selanjutnya, tokoh tokoh yang ada dalam cerita tersebut adalah Sultan Malik as- Saleh, Merah Silu, si Pasai (seekor anjing), Perma Dewana (seekor gajah), Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din, dan tokoh tambahan lainnya.  

Seperti halnya ciri hikayat, hikayat ini mengandung unsur perwatakan tokoh yang mempunyai kemampuan sempurna sebagai manusia. Ia adalah orang-orang istana yang berbeda dengan kehidupan orang banyak. Adapun latarnya adalah di Rimba Jerau dan Kerajaan Perlak. Alur cerita dalam hikayat tersebut merupakan alur standar hikayat, yaitu alur maju.  

Dalam hal ini, Anda dapat mengamati bahwa ada pembabakan cerita dari mulai penamaan kerajaan sampai peminangan seorang putri raja. Dalam hikayat ini seakan tidak ada konflik yang menonjol antara pertentangan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Sebagai karya tradisional, karya hikayat mempunyai sudut penceritaan orang ketiga (dia atau nama tokoh).

No comments:

Post a Comment