Tuesday, May 4, 2010

Monorail Jakarta, Proyek atau Solusi?

Akhir-akhir ini, berita tentang rencana pembangunan proyek monorail muncul kembali terutama tentang persoalan ketidaksiapan pihak konsorsium pelaksananya.  Sejak rencana proyek ini mulai digagas dan diungkapkan, sebenarnya sudah banyak pihak yang mempertanyakan kesiapan Pemprov Jakarta dalam pembangunan proyek besar di bidang transportasi ini. P
ertanyaan tersebut bukan berkaitan dengan bermanfaat atau tidak monorail, tetapi lebih tentang pihak swasta atau investor yang akan menjadi patner Pemprov Jakarta dalam merealisasikan proyek prestisius tersebut.  

Misalnya saja mempertanyakan garansi atau jaminan yang dapat diberikan Pemprov Jakarta bahwa investor yang akan digaet benarbenar memiliki kapasitas dan profesional. Sayangnya semua pertanyaan publik itu tidak pernah mendapat jawaban jelas dan tegas dari pihak Pemprov Jakarta dan pelaksanaan proyek ini semakin memburuk hingga kini.  
Sekadar untuk menyegarkan kembali ingatan tentang proyek ini, ide awal membangun monorail pertama kali digulirkan PT Indonesian Transit Central (ITC) sebagai partner dari MTrans Malaysia pada awal 2001. 


Sebagai gambaran untuk membayangkan atau ingin tahu, bagaimana bentuk monorail mungkin bisa melihat seperti monorail yang ada di komplek wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII).  
Waktu itu, surat dukungan terhadap investasi proyek monorail telah didapat, yaitu dari Menteri Perhubungan, Dirjen Hubungan Darat, Gubernur Jakarta (Juli 2002), Walikota Bekasi (April 2002), dan Walikota Tangerang (Mei 2002). Gagasan awal proyek monorail ini akhirnya ditunda terus dan akhirnya tenggelam karena pihak Pemprov Jakarta melihat busway dinilai lebih layak.  

Setelah busway koridor 1 berjalan dan diteruskan dengan pembangunan koridor 2 dan 3, barulah monorail pun dilirik kembali.   Pihak ITC sendiri saat itu baru mengajukan rencana pembangunan monorail tahap pertama dengan rute Bekasi-Mega Kuningan sepanjang 22,5 kilometer dan tahap kedua akan dibangun rute Jakarta-Tangerang kemudian diteruskan Bekasi-Cikarang.  
Lagi-lagi bukan Sutiyoso jika tidak memaksakan kehendaknya sendiri meski banyak pihak mencoba memberi masukan agar rencana proyek tersebut dipersiapkan benar baru dijalankan. Gubernur Jakarta, Sutiyoso tetap ngotot proyek ini harus dijalankan walaupun belum siap benar konsepnya. 

Peristiwa perdebatan awal tersebut terjadi sekitar pertengahan tahun 2003 lalu, meski konsep monorail belum ada, Sutiyoso terus menjajaki pembangunan monorail di Jakarta Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).  
Untuk memuluskan rencananya itu, tidak lama kemudian Sutiyoso mengatakan bahwa dia telah merencanakan perjalanan ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk mengunjungi para investor setempat yang akan menginvestasikan uang senilai Rp 3,2 triliun untuk membuat jalur monorail.  Secara khusus juga Sutiyoso menggambarkan bahwa Jakarta membutuhkan transportasi yang representatif dan perjalanannya ke Malaysia menjadi penting untuk mendapatkan investor Malaysia yang mau membuat monorail. 

Kepada wartawan saat di sela-sela olahraga bersama Pemda DKI, Polda Metro Jaya dan TNI di Lapangan Parkir Timur, Senayan, Jakarta pada hari Jumat (25/7/2003), Sutiyoso juga mengatakan bahwa jika nantinya sudah tersedia tranportasi yang representatif seperti monorail, diharapkan jumlah kendaraan yang masuk ke DKI Jakarta akan berkurang.  
“Saya harapkan orang-orang yang sebelumnya membawa mobil ke luar kota, akan naik kendaraan itu (kereta api jalur monorail). Bayangkan saja, tiap hari kira-kira 2 juta kendaraan yang masuk ke Jakarta. Itulah yang membuat kemacetan di Jakarta,” jelas Sutiyoso saat itu.  

Secara semangat juga Sutiyoso menggambarkan bahwa perjalanannya ke Malaysia itu nanti akan dipertemukan oleh pihak investor MTrans Malaysia dengan Menteri Keuangan Malaysia. Pertemuan tersebut katanya untuk membuktikan bahwa investor itu benar-benar sebuah perusahaan yang mendapat dukungan dari pemerintah Malaysia.  
Sutiyoso juga kala itu menjelaskan bahwa rute monorail ini dapat diselesaikan investor tersebut dalam waktu 2,5 tahun. Menurut Sutiyoso diungkapkan bahwa dia juga berencana akan memasukkan rute monorail ke bandara sebagai bagian jaringan transportasi makro yang menjangkau sampai Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi.  

Menarik sekali membaca dan memerhatikan semua rencana dan mimpi Sutiyoso terhadap proyek monorail di atas. Tetapi pertanyaannya sekarang ini, bagaimana kenyataan dan realisasi dari mimpi dan gagasan proyek monorail tersebut? 
Ternyata banyak sekali perubahan yang terjadi semenjak proyek tersebut mulai digagas hingga pembangunan sarana awal proyek monorail.  Satu persatu perubahan terjadi, mulai dari konsorsium yang menjadi patner Pemprov Jakarta, rute, dan jumlah anggaran yang akan dikeluarkan membangun monorail. 

Rencana awal dikatakan Sutiyoso bahwa Trayek atau rute awal monorail ini akan melintasi jalur yang mencangkup kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi ternyata berubah begitu saja tanpa cerita penjelasan.  Pada perjalanan awal itu, rute monorail akhirnya dibuat hanya melintasi wilayah Jakarta. 
Rute baru yang hanya melayani kota sekitar Jakarta ini pun masih menimbulkan banyak penolakan karena melalui jalur kawasan Senayan yang ditakutkan akan mengganggu keseimbangan kawasan Senayan sebagai kawasan terbuka untuk olah raga. Perubahan lainnya juga terjadi pada investor yang menjadi patner Pemprov Jakarta. Saat ini konsorsium investornya saat ini bukan lagi PT Indonesian Transit Central (ITC) yang berpatner dengan MTrans Malaysia seperti rencana awal tahun 2001.  

Sebagai penggantinya saat ini proyek tersebut dipegang oleh PT Jakarta Monorail (PTJM) yang mengaku telah memiliki sebuah konsorsium pemodal yang akan membiayai pembangunan proyek monorail di Jakarta. Peralihan investor pelaksana proyek ini pun tidak jelas apa penyebabnya, padahal jauh sebelumnya Sutiyoso sudah menjamini PT ITC dan Mtrans sebagai konsorsium investor yang punya duit dan diakui pemerintah Malaysia.  
 Rupanya masuknya PTJM sebagai investor tidak memberikan arti lebih baik dalam pembangunan proyek monorail. Pelaksanaannya saat ini justru semakin buruk dan tidak jelas penyelesaiannya.  

Misalnya saja pembangunan jalur proyek monorail ini banyak yang terbengkalai begitu saja. Beberapa lokasi yang menjadi lintasan monorail mengalami kerusakan sebagai akibat penggalian lobang cukup besar untuk keperluan menanam pondasi tiang panjang jalur yang akan dibangun. 
Lobang-lobang besar itu didiamkan begitu saja sehingga menimbulkan masalah dan membahayakan pengguna jalan di sekitarnya.  Banyak keluhan yang disampaikan sehubungan masalah galian ini tetapi hingga saat ini lobang-lobang tersebut masih terbuka tanpa pengaman. Entah apa pula yang menjadi dasar pertimbangan Sutiyoso menunjuk PTJM sebagai pengganti PT ITC dan Mtrans sebagai investornya. 

Padahal awalnya diungkapkan sebagai partner investor dan pengawas proyek, PT ITC menjanjikan Mtrans melakukan investasi sebesar Rp 3,2 Trilyun.  Sementara itu PTJM sebagai investor saat ini hanya mampu menanamkan modal sebesar Rp 1,5 Trilyun dari total anggaran sebesar Rp 6,5 Trilyun sedangkan sisanya akan diupayakan melalui pinjaman. 
Belakangan tersiar kabar bahwa apa yang dijanjikan oleh PTJM telah memiliki konsorsium investor dalam proyek ini ternyata tidak benar.  Begitu pula dengan persoalan ketersediaan modal dari pihak PTJM sendiri saat ini mulai menampakkan masalah baru lagi. 

Masalah modal ini berkali-kali disampaikan Sutiyoso pada media massa hingga pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pemerintah nasional ikut membantu pembangunan monorail. Rupanya permintaan keterlibatan pemerintah nasional ini berkaitan kurang dana yang dimiliki pihak PTJM.  
Masalah dana atau modal ini terus bergulir dan akhirnya PTJM mengaku bahwa mereka meminta modal sebagai saham penyertaan dari pihak Pemprov Jakarta sebesar Rp 500 milyar. Permintaan ini menimbulkan penolakan dan pertanyaan yang berkaitan dengan keberadaan serta kapasitas PTJM sebagai pelaksana konsorsium pembangunan monorail di Jakarta.  

Tanpa mempertimbangkan suara yang masuk, Sutiyoso langsung saja menyetujui pemberian modal tersebut yang katanya akan dimasukkan dalam APBD tahun 2006 mendatang.  
Banyak persoalan yang terjadi di lapangan terbengkalai begitu saja tanpa kejelasan penyelesaiannya. Mulai dari persoalan ketidakjelasan rute serta pembiaran sisa galian penanaman lubang tiang panjang dan kesiapan anggaran atau modal yang dimiliki pihak PTJM. Persoalanpersoalan ini akhirnya memang menunjukkan secara konseptual dan perencanaan pembangunan monorail di Jakarta ini belum siap benar.  

Ketidakmampuan menyelesaikan tepat waktu dan permintaan dana oleh PTJM ini menunjukkan bahwa memang PTJM tidak layak menjadi investor. Permintaan modal penyertaan Pemprov Jakarta inilah yang menunjukkan pada publik Jakarta bahwa keberadaan proyek monorail dan PTJM sebagai konsorsium tidak memiliki kapasitas yang baik dan harus hentikan kerja samanya.  

Akhirnya harus diakui bahwa semua kekacauan dalam pembangunan proyek monorail yang masih terus terjadi itu disebabkan oleh orientasi pembangunan yang salah. Apa yang dikatakan oleh Sutiyoso bahwa monorail adalah untuk memecahkan masalah kekacauan transportasi dan lalu lintas di Jakarta hanyalah omong kosong belaka.  

Mudahnya Sutiyoso memberikan dana publik sebesar Rp 500 Milyar dan melakukan perubahan, entah itu rutenya atau konsorsium pelaksananya menunjukkan bahwa monorail hanya sebuah cara Sutiyoso membuat satu proyek pribadi.  Jika memang pembangunan monorail ditargetkan sebagai sebuah solusi pemecahan masalah dan bukan sekadar berorientasi pada proyek, pelaksanaannya tidak akan sekacau ini. 
Sebagai sebuah solusi, tentunya pembangunan monorail, harusnya dilakukan secara terbuka, partisipatif, matang dan terprogram.  Dilakukan secara terbuka maksudnya agar bisa melibatkan partisipasi dan kepentingan warga Jakarta sebagai stakeholder utama dapat diolah secara matang dan terprogram pencapaiannya.  

Untuk membuktikan kecurigaan dan pemanfaatan kembali monorail sebagai sebuah proyek belaka, maka sudah seharusnya rencana ini dihentikan dulu sementara waktu.  Penghentian sementara ini dilakukan dengan diikuti pembatalan kerja sama dengan pihak konsorsium agar Pemprov dan warga Jakarta bisa melakukan evaluasi serta menyusun ulang perencanaannya.  
Pemprov Jakarta tidak perlu ragu menghentikan kerja samanya dengan pihak. Kegagalan yang dialami dijadikan bahan evaluasi perbaikan agar pembangunan monorail dapat dibangun dengan baik agar kepentingan warga Jakarta tercapai. 

Langkahlangkah perbaikan tersebut dimaksudkan agar kegagalan yang sama tidak terulang kembali.  Misalnya saja persoalan guling menggulingkan investor seperti antara PT ITC bersama Mtrans yang dianggap gagal dan berhasil digulingkan oleh PTJM sebagai konsorsium berikutnya, tidak terjadi kembali. 
Situasi kegagalan PTJM saat ini bisa dimanfaatkan (sangat mungkin memang dikondisikan) oleh investor lain yang ingin masuk menjadi pelaksana pembangunan dan pengelola mega proyek monorail ini.  Siapa sih orang yang tidak mau mendapatkan keuntungan trilyunan rupiah tanpa modal memadai? 

Seekor kucing saja jika hendak buang air besar mau berusaha menggali lobang tempat kotorannya dan menutupnya kembali dengan tanah setelah selesai.  Atau apabila seekor kucing jantan ingin mengawini seekor kucing betina, kucing itu harus bekerja keras. 
Si kucing jantan harus mampu meyakinkan si kucing betina barulah terjadi sebuah perkawinan. Masa kita sebagai manusia kalah oleh seekor kucing, untuk mendapatkan sebuah kenikmatan seekor kucing mau berusaha dan mengerjakannya secara terencana.

No comments:

Post a Comment